Semestaku sebelum kau datang adalah konstelasi yang sistematis, mengandung stagnasi yang konservatif. Aku tidak tahu caranya menghargai mentari yang membakar lagit hingga kemerahan. Aku tidak tau caranya mencium wangi hujan yang membasahi bumi. Aku tidak paham di mana indahnya kalimat yang termaktub di dalam larik-larik puisi. Maka izinkanlah aku menulis untukmu, tentangmu, meski aku tidak tahu apakah tulisan ini akan sampai kepadamu, atau hanya terdampar di bentangan ufuk. Izinkanlah aku mengabadikan perjalanan kita, agar aku tidak lupa bahwa suatu ketika di antara perjumpaan dan selamat tinggal, malam pernah dipenuhi senyum, senja pernah menjadi bait puisi, hujan pernah mengantarkan kerinduan, dan mata kita pernah saling bertatapan .
Aku akan menyayangimu seperti kabut yang raib oleh cahaya matahari. Kala sosok tinggal bayang, segudang tanya tak henti berbunyi, apakah masih panjang pertemuan yang kunanti? Atau memang, tak akan ada lagi? Apakah perlu kusalahkan awan atas hujan yang telah terjadi? Di bawah langit yang sudah tidak lagi membiru, aku terbangkan setangkai doa yang penuh akan pengharapan. Kukira aku sudah cukup kuat untuk menahan rasa yang tak pernah kusengaja, ternyata diriku masih seperti asap, yang mudah terombang-ambing di antara udara.
Aku sungguh merindukan gemuruh suara hujan, di tengah kemarau yang tidak berujung. Aku menatap indahnya bintang gemintang, dalam gelapnya langit yang tidak berawan, namun tak ada yang mampu menjadi pemenang, seusai bayangmu sekilas mengitari angan. Aku biarkan fatamorgana mengekangku, dalam keindahan semu yang tak beraturan. Dalam ruang yang suram, kedua mataku perlahan terpejam, memutar kembali setiap adegan, lusuh yang sempat kau indahkan. Kusibukkan diriku menghitung dedaunan yang tumbuh, hingga lupa memperhatikan dedaunan yang telah gugur. Entah malapetaka atau anugerah yang kudapatkan, aku harap ketulusan enggan ntuk meredup. -Khairul Azhari-
Komentar
Posting Komentar